Thursday, October 4, 2018

SCARY STORY: NEW MESSAGE


Saat aku berumur enam belas tahun, aku mendapat ponsel pertamaku. Ponsel flip normal, yang berkedip merah setiap aku mendapat satu pesan baru. Pertama kali aku mendapat sebuah pesan, aku tidak terlalu memikirkannya.

Ia: Aku mencintaimu.

Aku: Sepertinya salah nomor, maaf. Wkwk.

Ia: Tidak, aku mencintaimu.

Aku: Sungguh? Jadi… siapa kau?

Ia: Cinta sejatimu.

Aku menunjukkan pesan itu kepada temanku, Kirsten. Ia hanya tertawa dan mengendikkan bahu. Aku tidak membalas pesan pria misterius tersebut dan segera
melupakan segala hal tentangnya. Kukira seorang cowok malang sepertinya sedang mencoba mendekati cewek tertentu dan cewek itu memberikan nomor yang salah untuk menyingkirkannya.

Saat aku berumur tujuh belas tahun, aku membeli ponsel Blackberry baru, yang sama-sama memiliki cahaya berkedip merah begitu ada pesan baru. Aku juga jadian dengan pacar pertamaku. Namanya Todd.

Suatu hari, di tengah jam pelajaran, aku mendapati cahaya merah berkedip di dalam tasku. Sambil memastikan guru tidak melihat, aku mengambil Blackberry-ku, menahannya di bawah meja dan membaca pesannya:

Ia: Kemana saja kau?

Aku: Ini siapa?

Ia: Aku merindukanmu, sayang. Kau rindu aku juga?

Aku: Maaf, salah nomor.

Ia: Jangan bermain-main denganku, Manis!

Aku: Serius, kau salah nomor. Aku punya pacar. Selamat tinggal.

Tidak ada jawaban. Dua hari kemudian, aku menerima pesan yang lain.

Ia: Jenna?

Ia tahu namaku. Aku tak tahu bagaimana, tapi ia tahu namaku. Aku menunjukkan pesan tersebut pada pacarku. Todd mengambil ponselku dari tanganku dan membalas dengan pesan murka.

Aku: Dengar, Bung. Ini ponsel cewekku. Ia tidak mengenalmu dan tidak ingin mengenalmu. Kau salah nomor. Jika kau tidak berhenti, kami akan lapor polisi. Berhenti mengiriminya pesan.

Sepertinya cara itu berhasil waktu itu. Si pria misterius tidak pernah membalas dan kupikir hal ini sudah berakhir.

Saat aku berusia delapan belas tahun, aku membeli iPhone baru yang berbunyi “bing” setiap aku menerima pesan baru. Aku juga sudah putus dengan pacarku. Tepat sehari setelah aku dan Todd berpisah, pesan-pesan itu muncul kembali.

Ia: Aku merindukanmu.

Aku menatap ponselku tidak percaya. Tidak mungkin, kan, ini orang yang sama? Mungkin ini Todd, yang mencoba menakut-nakutiku.

Aku: Ini siapa?

Ia: Kau tahu ini siapa. Aku senang kau menyingkirkannya.

Aku: Siapa?

Ia: Bajingan yang kau sebut pacar. Melihatmu bersamanya selalu membuatku marah.

Aku: Dengar, dasar kau orang aneh! Berhenti mengirimiku pesan! Aku tidak tahu kau siapa atau apakah ini lelucon, tapi hentikan!

Ia: Tidak! Kau yang dengar, Jalang! Kau milikku. Jika aku melihatmu bersama cowok lain, kau akan menyesalinya. Ngomong-ngomong apa kau membiarkan tirai kamarmu terbuka malam-malam sehingga aku bisa mengawasimu?

Aku duduk di atas tempat tidurku saat aku membaca pesan tersebut. Dengan ketakutan, aku segera menoleh ke luar jendela. Kamarku di lantai dasar. Siapapun yang berdiri di halaman belakang bisa melihat langsung ke dalam kamarku. Aku melompat dan menutup tirainya. Kemudian, aku menelpon temanku Kirsten dan memberitahunya tentang apa yang terjadi. Ia langsung datang dan meyakinkanku untuk pergi ke kantor polisi.

Saat aku tiba di kantor polisi, para petugas di sana sangat membantu. Aku menunjukkan pada mereka ponselku dan mereka berhasil melacak nomor pria itu. Akhirnya mereka menemukan sebuah Blackberry kuno ringsek di bangunan terbengkalai yang jaraknya sekitar dua blok dari rumahku. Sesuatu yang lengket menyelimuti ponsel itu dan lantai. Ponsel itu teregistrasi atas nama seorang pria yang telah hilang beberapa bulan sebelumnya. Ia masih tidak berhasil ditemukan.

Aku mengganti nomorku dan, selama sebulan lebih, segalanya baik-baik saja.

Suatu malam, aku pergi ke pesta di rumah seorang teman. Banyak tamu bermain permainan minum-minum dan sedikit diantaranya sudah tak sadarkan diri di atas sofa atau muntah-muntah di kamar mandi. Di penghujung malam, aku menyadari tasku hilang. Aku berkeliling rumah, mencarinya kemana-mana, namun tak ketemu.

Aku melihat Kirsten keluar dari kamar mandi dan memohon padanya untuk membantuku menemukan tasku. Kami akhirnya pergi keluar dan menemukan tasku tergeletak di kebun depan. Isinya berhamburan di atas rumput. Kami mulai mengumpulkan kembali benda-benda tersebut. Untungnya, semua uang dan kartu kreditku masih di sana. Satu-satunya hal yang hilang adalah lip balmku, yang jujur saja tidak kupedulikan. Kukira salah seorang gadis mabuk mengobrak-abrik isi tasku untuk meminjam lip balm dan tidak sengaja menghamburkan semua isinya.

Kirsten dan aku memutuskan untuk memanggil taksi, namun saat aku mengambil ponselku, aku menyadari seseorang telah menggunakannya untuk mengirim beberapa pesan teks. Pesan terakhir cuma racauan tidak jelas. Aku merasakan perasaan tidak enak di dalam rongga perutku begitu aku membaca-baca pesannya.

Benar sekali. Cewek mabuk telah bermain-main dengan ponselku. Ia menjawab pesan-pesan teks berpura-pura sebagai aku. Percakapan seluruhnya seperti ini:

Ia: Hai Sayang. Sudah lama tidak ngobrol.

Cewek itu: Benar juga. Kenaps, seksi?

Ia: Bagaimana kabarmu?

Cewek itu: Baek, U?

Ia: Aku hanya terduduk di sini memikirkanmu. Aku merindukanmu. Apa kau merindukanku?

Cewek itu: WKWK. U lucu. U dimana?

Ia: Kau tahu aku tidak boleh bilang padamu. Kau sudah melapor polisi sekali.

Cewek itu: Polisi?

Ia: Kau pikir aku tidak tahu? Perlu waktu beberapa saat untuk memaafkanmu karena itu. Hampir sama lamanya dengan menemukan nomor barumu. Apa kau merindukanku?

Cewek itu: WKWK. Tentu!

Ia: Aku lihat kau sedang tidak di rumah mala mini. Kau sedang apa?

Cewek itu: U bisa lihat aku?

Ia: Tidak, Jenna. Aku bisa lihat lokasimu di GPS. Itu bukan rumahmu.

Cewek itu: Di tmn. Minum-minum.

Ia: Kau mabuk? Tunggu di sana. Aku akan datang dan menjemputmu.

Sembilan menit kemudian, cewek itu akhirnya membalas.

Cewek itu: OK maaf becanda. Ini gak Jenna aku nemuin HPnya.

Ia: Kau mencuri ponsel Jenna?!

Cewek itu: Tidak. Meminjsm.

Ia: Aku ke sana sekarang. Apa yang telah kau lakukan pada Jenna?

Cewek itu: Gak ada! Jangan ke sini! Dasar u menyeramkan

Ia: Aku akan membunuhmu jika kau menyakitinya!

Ia: Jawab aku. Kau sebaiknya tidak menyakitinya!

Ia: Jalang, mampus kau!

Cewek itu: Itu u ya yang di mobil merah?

Cewek itu: Bung, u menyeramkan. Aku masuk.

Cewek itu: APA-APAAN! Itu u?

Cewek itu: Y hentikan. Akan aku tinggalkan ponselnygooi2362 0gm4t-my 23-y3440y=;

Selanjutkan ada tiga lagi pesan seperti ini, dengan huruf-huruf dan simbol-simbol, seolah seseorang menekan keyboardnya dengan keras menggunakan jari-jarinya. Begitu aku selesai membaca, ponselnya bergetar di tanganku:

Ia: Jenna. Aku harap kau menemukan ponsel dan tasmu dalam keadaan baik. Wanita jalang yang mencoba mencurinya sudah kuamankan. Jangan khawatir, ia tidak akan mengganggumu lagi. Lip balmmu rasanya enak. Aku tidak sabar merasakannya langsung dari bibirmu.

Tangisanku pecah dan dengan segera kupanggil 9-1-1, mencoba menjelaskan situasinya. Sebuah mobil patroli tiba sekitar sepuluh menit kemudian dan para petugas kepolisian menemukanku duduk di kebun depan, terisak. Kirsten mencoba menenangkaku dan tamu-tamu pesta yang lain mengerumuniku, bermaksud mencaritahu tentang apa yang sedang terjadi.

Petugasnya pria dan wanita. Prianya lebih tua dan botak namun petugas wanitanya tampak hanya beberapa tahun lebih tua dariku dan terlihat khawatir. Aku mencoba menjelaskan kejadiannya namun aku hanya bisa memberikan ponselnya pada mereka sambil tersedak-sedak penjelasan seputar “mengirimiku pesan teks sedari aku berumur enam belas” dan “sudah lapor polisi” dan “tolong cewek itu”. Segera setelah polisi mengerti tentang apa yang terjadi, mereka berlari kembali ke mobil patroli dan menelpon nomor misterius itu.

Beberapa jam kemudian, dengan GPS, mereka berhasil melacak nomornya. Arahnya menunjukkan di danau. Mereka menarik keluar badan tak bernyawa dari seorang cewek mabuk dari air yang dingin. Ponselnya dijejalkan setengah di tenggorokan cewek itu. Saat polisi berhasil mengidentifikasinya, aku menemukan bahwa aku hanya bertemu cewek itu sekali dan kami cuma punya satu teman yang sama.

Biarpun aku tidak mengenalnya, aku pergi ke pemakamannya dan mendengarkan semua hal baik tentangnya yang dikatakan teman-teman dan keluarganya. Banyak orang yang menyayanginya. Aku merasa tidak enak akan apa yang terjadi. Rasa berdosa itu tidak tertahankan dan meski semua orang bilang itu bukan salahku. Aku masih menyalahkan diriku.

Si Penguntit membuatku benar-benar merasa rentan. Aku takut ia tetap bisa menemukanku. Rasanya seperti mimpi buruk ini tidak akan pernah berakhir. Aku mengganti nomorku lagi, dan pindah rumah. Seorang teman baikku, cowok bernama Matt, memiliki apartemen dengan dua kamar dan sedang mencari teman sekamar. Kupikir itu akan jadi pilihan yang paling aman. Sesaat, kelihatannya hidupku akan kembali normal. Namun, beberapa minggu lalu, pesan-pesan tersebut kembali lagi.

Dini hari, ponselku berdengung. Aku meraihnya dan membaca pesan yang tertera dengan mata yang lelah namun penasaran.

Ia: Ketemu!

Aku memandang layar ponselku, tak mampu bergerak selama beberapa menit.

Ia: Kau tidak akan bilang Hallo?

Air mata keputusasaan mulai bergulir di pipiku.

Ia: Kau tahu aku benci melihatmu menangis.

Aku membeku. Untuk beberapa saat, aku tidak bernapas. Aku bahkan tidak berkedip. Perlahan, aku menoleh dan memandang ketakutan ke arah jendela kamarku.

Di luar, di tangga darurat, berdiri seorang pria. Ia berpakaian serba hitam dari ujung kepala sampai ujung kaki dan menciptakan siluet yang membelakangi lampu jalan. Yang bisa kulihat dengan jelas hanya telapak tangannya, yang menekan jendela. Napasnya yang panas mengaburkan kaca.

Aku tidak menunggu untuk melihat apa yang akan terjadi. Melompat dari tempat tidurku, aku berlari melewati koridor dan menghambur ke kamar Matt, berteriak padanya untuk memanggil polisi. Ia tersentak bangun dari tidurnya.

“Jenna, ada apa?” tanya Matt.

“Pria yang dulu kuceritakan!” aku berseru dalam ketakutan. “Si Penguntit! Ia di sini! Di luar jendelaku! Panggil polisi!”

Ia terlalu tertegun untuk bergerak. Aku menyambar ponselnya dan memanggil sendiri polisi. Begitu aku menjelaskan apa yang terjadi, mata teman sekamarku melebar. Ia berlari ke lemari, mengambil sebuah tongkat kasti, dan mulai menyusuri lorong. Aku mencoba untuk memanggilnya kembali, namun ia tak mendengarkanku.

Langkah kakinya terhenti dan aku mendengar suara yang marah dan bunyi pergumulan. Lalu, terdengar suara BRAK yang menyakitkan. Bunyinya seperti kayu yang bertabrakan dengan sesuatu yang keras. Sebuah suara teredam menyerukan namaku. Aku tidak yakin siapa itu. Aku mendengar seseorang mengeluh kesakitan, yang diikuti dengan bunyi gedebuk keras. Kemudian seluruh apartemen jadi sunyi mencekam.

“Matt?” aku berteriak. Tidak ada jawaban. Aku berjingkat dari kamarnya dan setenang mungkin pergi ke dapur. Mengambil sebuah pisau daging dari laci dapur, aku menekan diriku membelakangi dinding dan mencoba untuk tidak bersuara.

Di ambang pintu, aku melihat sebuah bayangan besar muncul. Siluet seorang pria. Ia terlihat jauh lebih besar dari Matt.

“Apa maumu?” aku berteriak. “Aku sudah memanggil polisi! Mereka sedang menuju ke sini!”

Pria itu hanya tertawa kecil. Tawa kecil yang pelan dan mengancam. Lalu ia mulai berjalan ke arahku dan aku bisa mendengarnya menggumamkan namaku di bawah napasnya lagi dan lagi.

“Jenna, Jenna, Jenna, Jenna, Jenna…”

Aku tidak bergerak. Tidak ada tempat lagi yang tersisa untuk diriku berlari. Ia datang padaku dan wajahnya terpaut beberapa inci dariku. Ia lebih tua dari yang kukira, jenggotnya hitam dengan garis kelabu. Matanya kosong, dengan kantung mata hitam besar di bawhnya. Giginya terlihat seolah membusuk di mulutnya.

Aku memegang pisau tadi di balik punggungku. Ketika tangannya yang besar dan gemuk meraih leherku, aku melepaskan sebuah teriakan dan serangan sekeras yang aku bisa. Ia terjungkal, pandangan terkejut tersirat di wajahnya. Pisauku menancap di dadanya.

Aku mendorong melewatinya dan berlari ke lorong. Ia mencoba mengikutiku, namun saat aku menoleh, aku melihatnya jatuh berlutut. Kemudian, ia jatuh tertelungkup di karpet. Aku tidak yakin apakah ia hidup atau mati dan aku tidak ingin mengambil kesempatan.

Aku berlari ke kamarku dan mengunci pintu. Matt terbaring merosot di dinding, benjolan ungu besar terbentuk di keningnya. Ia tidak sadarkan diri. Aku menghambur ke arahnya dan memangku kepalanya di lenganku seraya aku menunggu polisi datang. Aku menyentuh wajah Matt dengan lembut dan menangis di dadanya. Lalu, aku mendengar sirene di kejauhan dan segera, lampu-lampu berkilat-kilat di luar apartemen.

Polisi berteriak saat mereka memasuki apartemenku dan aku mendengar mereka berbicara di depan kamarku. Mereka mendobrak pintu kamarku dan aku mendongak penuh syukur.

“Apa yang terjadi di koridor?” tanya petugas kepolisian.

“Ia masuk lewat jendela kamarku dan menyerang temanku. Lalu ia menyerangku, jadi aku… aku menikamnya.”

Petugas kepolisian itu terlihat bingung. “Tidak ada apapun di koridor selain darah yang banyak sekali.”

Aku mencarinya di lorong dan mulai berteriak. Aku mengambil ponselku dan melemparnya ke dinding sekeras yang aku bisa, menghancurkannya. Mereka membawa Matt ke rumah sakit dan membawaku ke kantor polisi untuk ditanya-tanyai. Di tengah wawancaraku, petugas itu dipanggil keluar ruangan. Saat ia kembali, ia memberitahuku bahwa tubuh seorang pria telah ditemukan beberapa blok dari rumahku. Ia mati akibat luka tikaman.

Mereka mengidentifikasi pria itu dan mempelajari bahwa pria itu memiliki rekor kriminal dalam menguntit, menculik, dan melakukan pembunuhan. Mereka merangsek masuk ke dalam rumahnya dan menemukan satu ruangan yang benar-benar didedikasikan untukku. Aku melihat foto-foto yang diambil fotografer polisi. Dindingnya tertutup dari lantai sampai langit-langit oleh foto-foto diriku. Beberapa di antara foto-foto itu, aku terlihat tidak lebih tua dari umur tiga belas tahun. Banyak sekali benda lengket melapisi dinding dan foto-fotonya. Ada bantal-bantal dan sebuah selimut tua di lantai. Sepertinya aku mengenali selimut itu. Itu adalah selimut yang kuhilangkan saat aku masih kecil.

Mereka juga menemukan sisa-sisa tubuh seorang cewek di lemari pembeku; cewek yang menghilang sekitar hampir dua puluh tahun sebelumnya. Ia adalah obsesi pertama pria itu. Ia berusia empat puluh delapan saat aku membunuhnya. Ia tidak punya keluarga ataupun orang yang dicintai. Ia telah hidup seperti pertapa di sepanjang hidupnya.

Matt keluar dari rumah sakit seminggu yang lalu. Tengkorak dan tiga tulang rusuknya patah. Kami pindah ke apartemen baru, ke apartemen yang memiliki sistem alarm dan jendela yang diperkuat. Kami juga secara resmi berpacaran. Aku tidak memiliki ponsel, dan aku tidak tahu apakah aku akan membeli ponsel nanti atau tidak.

Setiap kali aku mendengar suara ponsel Matt berdering, bulu kudukku berdiri.


Source: http://www.scaryforkids.com/new-message/
Translate: Ambrosia Black
Picture: https://www.asianfanfics.com/story/view/1182521/mystic-messenger-roleplay-plenty-of-mystic-messenger-boys-availiable-create-your-own-player-including-mm-characters-looking-up-to-20-roleplayers-roleplay-exo-bts-aimrp-aimroleplay-nct-mysticmessenger

No comments:

Post a Comment