Saat
aku berumur enam belas tahun, aku mendapat ponsel pertamaku. Ponsel flip
normal, yang berkedip merah setiap aku mendapat satu pesan baru. Pertama kali
aku mendapat sebuah pesan, aku tidak terlalu memikirkannya.
Ia:
Aku mencintaimu.
Aku:
Sepertinya salah nomor, maaf. Wkwk.
Ia:
Tidak, aku mencintaimu.
Aku:
Sungguh? Jadi… siapa kau?
Ia:
Cinta sejatimu.
Aku
menunjukkan pesan itu kepada temanku, Kirsten. Ia hanya tertawa dan
mengendikkan bahu. Aku tidak membalas pesan pria misterius tersebut dan segera
melupakan segala hal tentangnya. Kukira seorang cowok malang sepertinya sedang mencoba mendekati cewek tertentu dan cewek itu memberikan nomor yang salah untuk menyingkirkannya.
melupakan segala hal tentangnya. Kukira seorang cowok malang sepertinya sedang mencoba mendekati cewek tertentu dan cewek itu memberikan nomor yang salah untuk menyingkirkannya.
Saat
aku berumur tujuh belas tahun, aku membeli ponsel Blackberry baru, yang
sama-sama memiliki cahaya berkedip merah begitu ada pesan baru. Aku juga jadian
dengan pacar pertamaku. Namanya Todd.
Suatu
hari, di tengah jam pelajaran, aku mendapati cahaya merah berkedip di dalam
tasku. Sambil memastikan guru tidak melihat, aku mengambil Blackberry-ku,
menahannya di bawah meja dan membaca pesannya:
Ia:
Kemana saja kau?
Aku:
Ini siapa?
Ia:
Aku merindukanmu, sayang. Kau rindu aku juga?
Aku:
Maaf, salah nomor.
Ia:
Jangan bermain-main denganku, Manis!
Aku:
Serius, kau salah nomor. Aku punya pacar. Selamat tinggal.
Tidak
ada jawaban. Dua hari kemudian, aku menerima pesan yang lain.
Ia:
Jenna?
Ia
tahu namaku. Aku tak tahu bagaimana, tapi ia tahu namaku. Aku menunjukkan pesan
tersebut pada pacarku. Todd mengambil ponselku dari tanganku dan membalas
dengan pesan murka.
Aku:
Dengar, Bung. Ini ponsel cewekku. Ia tidak mengenalmu dan tidak ingin
mengenalmu. Kau salah nomor. Jika kau tidak berhenti, kami akan lapor polisi.
Berhenti mengiriminya pesan.
Sepertinya
cara itu berhasil waktu itu. Si pria misterius tidak pernah membalas dan
kupikir hal ini sudah berakhir.
Saat
aku berusia delapan belas tahun, aku membeli iPhone baru yang berbunyi “bing”
setiap aku menerima pesan baru. Aku juga sudah putus dengan pacarku. Tepat
sehari setelah aku dan Todd berpisah, pesan-pesan itu muncul kembali.
Ia:
Aku merindukanmu.
Aku
menatap ponselku tidak percaya. Tidak mungkin, kan, ini orang yang sama?
Mungkin ini Todd, yang mencoba menakut-nakutiku.
Aku:
Ini siapa?
Ia:
Kau tahu ini siapa. Aku senang kau menyingkirkannya.
Aku:
Siapa?
Ia:
Bajingan yang kau sebut pacar. Melihatmu bersamanya selalu membuatku marah.
Aku:
Dengar, dasar kau orang aneh! Berhenti mengirimiku pesan! Aku tidak tahu kau
siapa atau apakah ini lelucon, tapi hentikan!
Ia:
Tidak! Kau yang dengar, Jalang! Kau milikku. Jika aku melihatmu bersama cowok
lain, kau akan menyesalinya. Ngomong-ngomong apa kau membiarkan tirai kamarmu
terbuka malam-malam sehingga aku bisa mengawasimu?
Aku
duduk di atas tempat tidurku saat aku membaca pesan tersebut. Dengan ketakutan,
aku segera menoleh ke luar jendela. Kamarku di lantai dasar. Siapapun yang
berdiri di halaman belakang bisa melihat langsung ke dalam kamarku. Aku
melompat dan menutup tirainya. Kemudian, aku menelpon temanku Kirsten dan
memberitahunya tentang apa yang terjadi. Ia langsung datang dan meyakinkanku
untuk pergi ke kantor polisi.
Saat
aku tiba di kantor polisi, para petugas di sana sangat membantu. Aku
menunjukkan pada mereka ponselku dan mereka berhasil melacak nomor pria itu.
Akhirnya mereka menemukan sebuah Blackberry kuno ringsek di bangunan
terbengkalai yang jaraknya sekitar dua blok dari rumahku. Sesuatu yang lengket
menyelimuti ponsel itu dan lantai. Ponsel itu teregistrasi atas nama seorang
pria yang telah hilang beberapa bulan sebelumnya. Ia masih tidak berhasil
ditemukan.
Aku
mengganti nomorku dan, selama sebulan lebih, segalanya baik-baik saja.
Suatu
malam, aku pergi ke pesta di rumah seorang teman. Banyak tamu bermain permainan
minum-minum dan sedikit diantaranya sudah tak sadarkan diri di atas sofa atau
muntah-muntah di kamar mandi. Di penghujung malam, aku menyadari tasku hilang.
Aku berkeliling rumah, mencarinya kemana-mana, namun tak ketemu.
Aku
melihat Kirsten keluar dari kamar mandi dan memohon padanya untuk membantuku
menemukan tasku. Kami akhirnya pergi keluar dan menemukan tasku tergeletak di
kebun depan. Isinya berhamburan di atas rumput. Kami mulai mengumpulkan kembali
benda-benda tersebut. Untungnya, semua uang dan kartu kreditku masih di sana.
Satu-satunya hal yang hilang adalah lip balmku, yang jujur saja tidak kupedulikan.
Kukira salah seorang gadis mabuk mengobrak-abrik isi tasku untuk meminjam lip balm dan tidak sengaja menghamburkan semua isinya.
Kirsten
dan aku memutuskan untuk memanggil taksi, namun saat aku mengambil ponselku,
aku menyadari seseorang telah menggunakannya untuk mengirim beberapa pesan
teks. Pesan terakhir cuma racauan tidak jelas. Aku merasakan perasaan tidak
enak di dalam rongga perutku begitu aku membaca-baca pesannya.
Benar
sekali. Cewek mabuk telah bermain-main dengan ponselku. Ia menjawab pesan-pesan
teks berpura-pura sebagai aku. Percakapan seluruhnya seperti ini:
Ia:
Hai Sayang. Sudah lama tidak ngobrol.
Cewek
itu: Benar juga. Kenaps, seksi?
Ia:
Bagaimana kabarmu?
Cewek
itu: Baek, U?
Ia:
Aku hanya terduduk di sini memikirkanmu. Aku merindukanmu. Apa kau
merindukanku?
Cewek
itu: WKWK. U lucu. U dimana?
Ia:
Kau tahu aku tidak boleh bilang padamu. Kau sudah melapor polisi sekali.
Cewek
itu: Polisi?
Ia:
Kau pikir aku tidak tahu? Perlu waktu beberapa saat untuk memaafkanmu karena
itu. Hampir sama lamanya dengan menemukan nomor barumu. Apa kau merindukanku?
Cewek
itu: WKWK. Tentu!
Ia:
Aku lihat kau sedang tidak di rumah mala mini. Kau sedang apa?
Cewek
itu: U bisa lihat aku?
Ia:
Tidak, Jenna. Aku bisa lihat lokasimu di GPS. Itu bukan rumahmu.
Cewek
itu: Di tmn. Minum-minum.
Ia:
Kau mabuk? Tunggu di sana. Aku akan datang dan menjemputmu.
Sembilan
menit kemudian, cewek itu akhirnya membalas.
Cewek
itu: OK maaf becanda. Ini gak Jenna aku nemuin HPnya.
Ia:
Kau mencuri ponsel Jenna?!
Cewek
itu: Tidak. Meminjsm.
Ia:
Aku ke sana sekarang. Apa yang telah kau lakukan pada Jenna?
Cewek itu: Gak ada! Jangan ke sini!
Dasar u menyeramkan
Ia: Aku akan membunuhmu jika kau menyakitinya!
Ia: Jawab aku. Kau sebaiknya tidak
menyakitinya!
Ia: Jalang, mampus kau!
Cewek itu: Itu u ya yang di mobil merah?
Cewek itu: Bung, u menyeramkan. Aku
masuk.
Cewek itu: APA-APAAN! Itu u?
Cewek itu: Y hentikan. Akan aku
tinggalkan ponselnygooi2362 0gm4t-my 23-y3440y=;
Selanjutkan ada tiga lagi pesan seperti
ini, dengan huruf-huruf dan simbol-simbol, seolah seseorang menekan keyboardnya
dengan keras menggunakan jari-jarinya. Begitu aku selesai membaca, ponselnya
bergetar di tanganku:
Ia: Jenna. Aku harap kau menemukan
ponsel dan tasmu dalam keadaan baik. Wanita jalang yang mencoba mencurinya
sudah kuamankan. Jangan khawatir, ia tidak akan mengganggumu lagi. Lip balmmu
rasanya enak. Aku tidak sabar merasakannya langsung dari bibirmu.
Tangisanku pecah dan dengan segera
kupanggil 9-1-1, mencoba menjelaskan situasinya. Sebuah mobil patroli tiba
sekitar sepuluh menit kemudian dan para petugas kepolisian menemukanku duduk di
kebun depan, terisak. Kirsten mencoba menenangkaku dan tamu-tamu pesta yang
lain mengerumuniku, bermaksud mencaritahu tentang apa yang sedang terjadi.
Petugasnya pria dan wanita. Prianya
lebih tua dan botak namun petugas wanitanya tampak hanya beberapa tahun lebih
tua dariku dan terlihat khawatir. Aku mencoba menjelaskan kejadiannya namun aku
hanya bisa memberikan ponselnya pada mereka sambil tersedak-sedak penjelasan
seputar “mengirimiku pesan teks sedari aku berumur enam belas” dan “sudah lapor
polisi” dan “tolong cewek itu”. Segera setelah polisi mengerti tentang apa yang
terjadi, mereka berlari kembali ke mobil patroli dan menelpon nomor misterius
itu.
Beberapa jam kemudian, dengan GPS,
mereka berhasil melacak nomornya. Arahnya menunjukkan di danau. Mereka menarik
keluar badan tak bernyawa dari seorang cewek mabuk dari air yang dingin.
Ponselnya dijejalkan setengah di tenggorokan cewek itu. Saat polisi berhasil
mengidentifikasinya, aku menemukan bahwa aku hanya bertemu cewek itu sekali dan
kami cuma punya satu teman yang sama.
Biarpun aku tidak mengenalnya, aku pergi
ke pemakamannya dan mendengarkan semua hal baik tentangnya yang dikatakan
teman-teman dan keluarganya. Banyak orang yang menyayanginya. Aku merasa tidak
enak akan apa yang terjadi. Rasa berdosa itu tidak tertahankan dan meski semua
orang bilang itu bukan salahku. Aku masih menyalahkan diriku.
Si Penguntit membuatku benar-benar merasa
rentan. Aku takut ia tetap bisa menemukanku. Rasanya seperti mimpi buruk ini
tidak akan pernah berakhir. Aku mengganti nomorku lagi, dan pindah rumah.
Seorang teman baikku, cowok bernama Matt, memiliki apartemen dengan dua kamar
dan sedang mencari teman sekamar. Kupikir itu akan jadi pilihan yang
paling aman. Sesaat, kelihatannya hidupku akan kembali normal. Namun, beberapa
minggu lalu, pesan-pesan tersebut kembali lagi.
Dini hari, ponselku berdengung. Aku
meraihnya dan membaca pesan yang tertera dengan mata yang lelah namun
penasaran.
Ia: Ketemu!
Aku memandang layar ponselku, tak mampu
bergerak selama beberapa menit.
Ia: Kau tidak akan bilang Hallo?
Air mata keputusasaan mulai bergulir di
pipiku.
Ia: Kau tahu aku benci melihatmu
menangis.
Aku membeku. Untuk beberapa saat, aku
tidak bernapas. Aku bahkan tidak berkedip. Perlahan, aku menoleh dan memandang
ketakutan ke arah jendela kamarku.
Di luar, di tangga darurat, berdiri
seorang pria. Ia berpakaian serba hitam dari ujung kepala sampai ujung kaki dan
menciptakan siluet yang membelakangi lampu jalan. Yang bisa kulihat
dengan jelas hanya telapak tangannya, yang menekan jendela. Napasnya yang panas
mengaburkan kaca.
Aku tidak menunggu untuk melihat apa
yang akan terjadi. Melompat dari tempat tidurku, aku berlari melewati koridor
dan menghambur ke kamar Matt, berteriak padanya untuk memanggil polisi. Ia
tersentak bangun dari tidurnya.
“Jenna, ada apa?” tanya Matt.
“Pria yang dulu kuceritakan!” aku
berseru dalam ketakutan. “Si Penguntit! Ia di sini! Di luar jendelaku! Panggil
polisi!”
Ia terlalu tertegun untuk bergerak. Aku
menyambar ponselnya dan memanggil sendiri polisi. Begitu aku menjelaskan apa
yang terjadi, mata teman sekamarku melebar. Ia berlari ke lemari, mengambil
sebuah tongkat kasti, dan mulai menyusuri lorong. Aku mencoba untuk
memanggilnya kembali, namun ia tak mendengarkanku.
Langkah kakinya terhenti dan aku
mendengar suara yang marah dan bunyi pergumulan. Lalu, terdengar suara BRAK
yang menyakitkan. Bunyinya seperti kayu yang bertabrakan dengan sesuatu yang
keras. Sebuah suara teredam menyerukan namaku. Aku tidak yakin siapa itu. Aku
mendengar seseorang mengeluh kesakitan, yang diikuti dengan bunyi gedebuk
keras. Kemudian seluruh apartemen jadi sunyi mencekam.
“Matt?” aku berteriak. Tidak ada
jawaban. Aku berjingkat dari kamarnya dan setenang mungkin pergi ke dapur.
Mengambil sebuah pisau daging dari laci dapur, aku menekan diriku membelakangi
dinding dan mencoba untuk tidak bersuara.
Di ambang pintu, aku melihat sebuah
bayangan besar muncul. Siluet seorang pria. Ia terlihat jauh lebih besar dari
Matt.
“Apa maumu?” aku berteriak. “Aku sudah
memanggil polisi! Mereka sedang menuju ke sini!”
Pria itu hanya tertawa kecil. Tawa kecil
yang pelan dan mengancam. Lalu ia mulai berjalan ke arahku dan aku bisa
mendengarnya menggumamkan namaku di bawah napasnya lagi dan lagi.
“Jenna, Jenna, Jenna, Jenna, Jenna…”
Aku tidak bergerak. Tidak ada tempat
lagi yang tersisa untuk diriku berlari. Ia datang padaku dan wajahnya terpaut
beberapa inci dariku. Ia lebih tua dari yang kukira, jenggotnya hitam dengan
garis kelabu. Matanya kosong, dengan kantung mata hitam besar di bawhnya.
Giginya terlihat seolah membusuk di mulutnya.
Aku memegang pisau tadi di balik
punggungku. Ketika tangannya yang besar dan gemuk meraih leherku, aku
melepaskan sebuah teriakan dan serangan sekeras yang aku bisa. Ia terjungkal,
pandangan terkejut tersirat di wajahnya. Pisauku menancap di dadanya.
Aku mendorong melewatinya dan berlari ke
lorong. Ia mencoba mengikutiku, namun saat aku menoleh, aku melihatnya jatuh
berlutut. Kemudian, ia jatuh tertelungkup di karpet. Aku tidak yakin apakah ia
hidup atau mati dan aku tidak ingin mengambil kesempatan.
Aku berlari ke kamarku dan mengunci
pintu. Matt terbaring merosot di dinding, benjolan ungu besar terbentuk di
keningnya. Ia tidak sadarkan diri. Aku menghambur ke arahnya dan memangku
kepalanya di lenganku seraya aku menunggu polisi datang. Aku menyentuh wajah
Matt dengan lembut dan menangis di dadanya. Lalu, aku mendengar sirene di
kejauhan dan segera, lampu-lampu berkilat-kilat di luar apartemen.
Polisi berteriak saat mereka memasuki
apartemenku dan aku mendengar mereka berbicara di depan kamarku. Mereka mendobrak
pintu kamarku dan aku mendongak penuh syukur.
“Apa yang terjadi di koridor?” tanya
petugas kepolisian.
“Ia masuk lewat jendela kamarku dan
menyerang temanku. Lalu ia menyerangku, jadi aku… aku menikamnya.”
Petugas kepolisian itu terlihat bingung.
“Tidak ada apapun di koridor selain darah yang banyak sekali.”
Aku mencarinya di lorong dan mulai
berteriak. Aku mengambil ponselku dan melemparnya ke dinding sekeras yang aku
bisa, menghancurkannya. Mereka membawa Matt ke rumah sakit dan membawaku ke
kantor polisi untuk ditanya-tanyai. Di tengah wawancaraku, petugas itu
dipanggil keluar ruangan. Saat ia kembali, ia memberitahuku bahwa tubuh seorang
pria telah ditemukan beberapa blok dari rumahku. Ia mati akibat luka tikaman.
Mereka mengidentifikasi pria itu dan
mempelajari bahwa pria itu memiliki rekor kriminal dalam menguntit, menculik,
dan melakukan pembunuhan. Mereka merangsek masuk ke dalam rumahnya dan
menemukan satu ruangan yang benar-benar didedikasikan untukku. Aku melihat
foto-foto yang diambil fotografer polisi. Dindingnya tertutup dari lantai sampai
langit-langit oleh foto-foto diriku. Beberapa di antara foto-foto itu, aku
terlihat tidak lebih tua dari umur tiga belas tahun. Banyak sekali benda
lengket melapisi dinding dan foto-fotonya. Ada bantal-bantal dan sebuah selimut
tua di lantai. Sepertinya aku mengenali selimut itu. Itu adalah selimut yang
kuhilangkan saat aku masih kecil.
Mereka juga menemukan sisa-sisa tubuh
seorang cewek di lemari pembeku; cewek yang menghilang sekitar hampir dua puluh
tahun sebelumnya. Ia adalah obsesi pertama pria itu. Ia berusia empat puluh
delapan saat aku membunuhnya. Ia tidak punya keluarga ataupun orang yang
dicintai. Ia telah hidup seperti pertapa di sepanjang hidupnya.
Matt keluar dari rumah sakit seminggu
yang lalu. Tengkorak dan tiga tulang rusuknya patah. Kami pindah ke apartemen
baru, ke apartemen yang memiliki sistem alarm dan jendela yang diperkuat. Kami
juga secara resmi berpacaran. Aku tidak memiliki ponsel, dan aku tidak
tahu apakah aku akan membeli ponsel nanti atau tidak.
Setiap kali aku mendengar suara ponsel
Matt berdering, bulu kudukku berdiri.
Source: http://www.scaryforkids.com/new-message/
Translate: Ambrosia Black
Picture: https://www.asianfanfics.com/story/view/1182521/mystic-messenger-roleplay-plenty-of-mystic-messenger-boys-availiable-create-your-own-player-including-mm-characters-looking-up-to-20-roleplayers-roleplay-exo-bts-aimrp-aimroleplay-nct-mysticmessenger
No comments:
Post a Comment