Friday, March 2, 2018

JAPANESE URBAN LEGEND: EIGHT FEET TALL


Si Tinggi Delapan Kaki atau “Hachisakusama” adalah legenda urban Jepang tentang seorang wanita berbadan tinggi yang suka menculik anak-anak. Tingginya 8 kaki, mengenakan terusan putih panjang dan bersuara “Po… Po… Po… Po… Po…”

Kakek dan nenekku tinggal di Jepang. Setiap liburan musim panas, orang tuaku akan membawaku ke sana mengunjungi mereka. Mereka tinggal di sebuah desa kecil dan mereka memiliki halaman belakang yang luas. Aku suka bermain di sana saat musim panas. Saat kami tiba, kakek dan nenekku selalu menerimaku dengan tangan terbuka. Aku adalah satu-satunya cucu mereka, jadi mereka memanjakanku.

Terakhir kali aku melihat mereka adalah saat musim panas ketika aku berumur 8 tahun.

Seperti biasa, orang tuaku memesan tiket penerbangan ke Jepang dan kami berkendara dari bandara menuju rumah kakek-nenek. Mereka gembira melihatku dan punya banyak hadiah kecil untuk diberikan kepadaku. Orang tuaku ingin berduaan selama beberapa waktu, maka setelah beberapa hari, mereka pergi ke daerah lain di Jepang, meninggalkanku di bawah pengawasan Kakek dan Nenekku.

Suatu hari, aku sedang bermain di halaman belakang. Kakek dan nenek sedang berada di dalam. Hari itu lumayan panas dan aku berbaring di atas rumput untuk beristirahat. Aku memandang awan dan menikmati sensasi dari sinar matahari dan angin sepoi-sepoi yang lembut. Sebentar setelah aku hampir terbangun, aku mendengar suara aneh.

“Po… Po… Po… Po… Po…Po… Po…”

Aku tidak tau apa itu dan sangat sulit mengetahui darimana suara itu berasal. Kedengarannya hampir seperti seseorang yang sedang berbicara… seolah ia hanya mengatakan, “Po… Po… Po…” terus-menerus dengan suara yang dalam dan maskulin.

Aku melihat ke sekeliling, mencari sumber suara tersebut ketika tiba-tiba aku menemukan sesuatu di atas pembatas tinggi yang memagari halaman belakang. Benda itu adalah sebuah topi jerami. Topi tersebut tidak berada tepat di atas pembatas, namun di belakang pembatas. Dari sanalah suara itu berasal.

“Po… Po… Po… Po… Po…Po… Po…”

Kemudian, topi itu mula bergerak, seolah seseorang mengenakannya. Topi itu berhenti di belakang celah kecil pembatas dan aku dapat melihat seraut wajah mengintip. Seorang wanita. Namun, pembatas itu tinggi… sekitar 8 kaki…

Aku terkejut menyadari betapa tinggi wanita itu. Aku bertanya-tanya apakah ia menggunakan egrang atau semacam sepatu hak super tinggi. Lalu, beberapa detik kemudian, ia berjalan pergi dan suara aneh tadi menghilang bersamanya, memudar di kejauhan,

Kebingungan, aku bangkit dan berlari ke dalam rumah. Kakek dan nenek sedang berada di dapur minum teh. Aku duduk di atas meja, dan sebentar kemudian, aku memberitahu mereka apa yang aku lihat. Mereka tidak benar-benar memperhatikanku, hingga aku menyebutkan suara khas itu.

“Po… Po… Po… Po… Po… Po… Po…”

Segera setelah aku mengatakan itu, keduanya langsung mematung. Mata nenek melebar dan ia menutup mulutnya dengan tangannya. Wajah kakek menjadi sangat serius dan ia mencengkeram tanganku.

“Ini sangat penting,” katanya dengan nada yang tajam. “Kau harus benar-benar memberitahu kami… Berapa tinggi wanita itu?”

“Setinggi pembatas kebun,” balasku, mulai merasa takut.

Kakek memborbardirku dengan banyak pertanyaan… “Dimana ia berdiri? Kapan ini terjadi? Apa yang kau lakukan? Apa ia melihatmu?”

Aku mencoba menjawab semua pertanyaan kakek sebaik yang kubisa. Ia bergegas ke lorong dan menelpon seseorang. Aku tak bisa mendengar apa yang ia bilang. Aku menatap Nenek dan ia gemetar.

Dengan tergesa-gesa kakek kembali ke kamar dan berbicara dengan nenek.

“Aku harus pergi sebentar,” katanya. “Kau tinggal di sini dengannya. Jangan alihkan pandanganmu darinya sedetikpun.”

“Ada apa, Kek?” aku menangis.

Kakek menatapku dengan ekspresi sedih dan berkata, “Kau sudah disukai oleh Hachishakusama.”

Kemudian, ia berlari, melompat ke truknya dan berkendara pergi.

Aku menoleh ke nenek dan dengan hati-hati bertanya, “Siapa Hachishakusama?”

“Jangan khawatir,” balas Nenek dengan suara bergetar. “Kakek akan melakukan sesuatu. Kau tidak perlu khawatir.”

Sementara kita duduk dengan gugup di dapur menunggu Kakek pulang, Nenek menjelaskan apa yang sedang terjadi. Ia memberitahuku ada sesuatu yang berbahaya yang menghantui daerah itu. Mereka memanggilnya “Hachishakusama” yang berarti “Si Tinggi Delapan Kaki”.

Wujudnya seperti seorang wanita yang tinggi dan bersuara “Po… Po… Po…” dengan suara pria yang dalam. Wujudnya sedikit berbeda tergantung siapa yang melihatnya. Ada yang mengatakan ia terlihat seperti seorang wanita tua kurus kering berkimono dan ada juga yang bilang gadis berkain kafan putih. Satu hal yang tidak pernah berubah adalah tingginya dan suara yang dibuatnya.

Dulu, wanita itu ditangkap oleh para biksu dan mereka berhasil menyegelnya di reruntuhan bangunan di pinggir desa. Mereka mengurung wanita itu dengan 4 patung suci kecil bernama “Jizo” yang mereka letakkan di utara, selatan, timur, dan barat reruntuhan dan seharusnya ia tak bisa pergi dari sana. Entah bagaimana ia mampu melarikan diri.

Terakhir kali ia muncul adalah saat 15 tahun lalu. Nenek bilang siapapun yang melihat Si Tinggi Delapan Kaki ditakdirkan mati dalam beberapa hari.

Semuanya terdengar benar-benar sinting, aku tidak yakin apa yang harus kupercayai.

Saat Kakek kembali, ada seorang wanita tua bersamanya. Ia memperkenalkan dirinya sebagai “Kei-san” dan memberiku selembar perkamen lecek sambil berkata, “Ini, ambil ini dan peganglah.” Lalu, ia dan Kakek naik ke lantai atas untuk melakukan sesuatu. Aku ditinggalkan lagi di dapur bersama Nenek.

Aku perlu pergi ke kamar kecil. Nenek mengikutiku ke kamar mandi dan tidak membiarkanku menutup pintu. Aku mulai benar-benar ketakutan karena ini semua.

Beberapa saat kemudian, Kakek dan Kei-san memanggilku ke atas dan membawaku ke kamar tidurku. Jendelanya tertutup kertas koran dan banyak rune-rune kuno tertulis di sana. Ada semangkuk kecil garam di empat sudut kamar dan sebuah patung Buddha kecil ditaruh di tengah ruangan di atas kotak kayu. Ada juga ember biru terang.

“Embernya buat apa?” aku bertanya.

“Untukmu buang air,” balas Kakek.

Kei-san mendudukkanku di atas tempat tidur dan berkata, “Segera, matahari akan tenggelam, jadi dengar baik-baik. Kau harus tinggal di kamar ini sampai besok pagi. Kau tidak boleh keluar apapun yang terjadi sampai jam 7 pagi besok pagi. Nenek dan Kakekmu tidak akan berbicara ataupun memanggilmu sampai jam 7. Ingat, jangan meninggalkan ruangan demi alasan apapun sampai jam 7. Aku akan memberitahu orang tuamu apa yang terjadi.”

Ia berbicara dengan nada yang gawat sampai-sampai yang bisa kulakukan hanya menganggukkan kepalaku.

“Kau harus benar-benar mematuhi arahan dari Kei-san,” Kakek memberitahuku. “Dan jangan pernah melepaskan perkamen yang ia berikan padamu. Dan jika sesuatu terjadi, berdoalah pada Buddha. Dan pastikan kau mengunci pintu ini saat kami pergi.”

Mereka berjalan pergi ke dalam koridor dan setelah mengucapkan selamat tinggal pada mereka, aku menutup pintu kamar dan menguncinya. Aku menghidupkan TV dan mencoba untuk menonton, namun aku saat gugup, perutku terasa mual. Nenek meninggalkan beberapa makanan ringan dan nasi kepal untukku, namun aku tidak bisa memakannya. Aku merasa seperti berada di penjara dan aku merasa sangat depresi dan ketakutan. Aku berbaring di tempat tidur dan menunggu. Tanpa aku sadari, aku tertidur.

Saat aku bangun, jam baru saja menunjukkan pukul satu malam. Tiba-tiba saja, aku menyadari sesuatu mengetuk jendela.

“Tap, tap, tap, tap, tap…”

Aku merasa darahku terlucuti dari wajahku dan jantungku berhenti berdetak. Dengan susah payah aku berusaha menenangkan diriku, menngatakan pada diri sendiri itu hanya angin yang jahil atau mungkin cabang pohon. Aku mengeraskan volume TV untuk meredam suara mengetuk itu. Akhirnya, suara itu berhenti.

Itu saat aku mendengar Kakek memanggil.

“Kau baik-baik saja di sana?” tanyanya. “Jika kau takut kau tidak harus berada di sana sendirian. Aku bisa datang dan menemanimu.”

Aku tersenyum dan bergegas bermaksud membuka pintu, namun kemudian, aku menghentikan langkahku. Seluruh tubuhmu merinding. Kedengarannya seperti suara Kakek, tapi entah bagaimana, berbeda. Aku tidak bisa menjelaskan apa yang berbeda, aku hanya sekedar tau…

“Kau sedang apa?” tanya Kakek. “Kau boleh membuka pintunya sekarang.”

Aku melirik ke kiri dan rasa dingin menjalari tulang belakangku. Garam di mangkuk-mangkuk itu menghitam perlahan.

Aku membelakangi pintu. Sekujur tubuhku menggigil ketakutan. Aku berlutut di depan patung Buddha dan mencengkeram lembaran perkamen kuat-kuat di tanganku. Aku mulai berdoa memohon pertolongan.

“Kumohon selamatkan aku dari Hachishakusama,” aku meratap.

Lalu, kudengar suara di luar berkata:

“Po… Po… Po… Po… Po… Po… Po…”

Ketukan di jendela mulai terdengar lagi. Aku dikuasai oleh rasa takut dan aku meringkuk di sana di depan Buddha, setengah menangis dan setengah berdoa di sisa malamku. Aku merasa hal ini tidak akan selesai, namun akhirnya pagi datang. Garam di keempat mangkuk menjadi sangat hitam.

Aku memeriksa jam tanganku. Pukul 7:30 pagi. Dengan hati-hati aku membuka pintu. Nenek dan Kei-san berdiri di luar menungguku. Saat Nenek melihat wajahku, tangisnya pecah.

“Aku sangat bahagia kau masih hidup,” kata Nenek.

Aku menuruni tangga dan terkejut melihat Ayah dan Ibu duduk di dapur. Kakek datang dan berkata, “Bergegaslah! Kita harus pergi.”

Kami pergi ke pintu depan dan ada sebuah van hitam besar menunggu di jalan. Beberapa pria dari desa ini berdiri di sekitarnya, menunjukku dan berbisik, “Itu dia.”

Van itu berisi 9 tempat duduk dan mereka meletakkanku di tengah, dikelilingi oleh delapan pria. Kei-san berada di kursi kemudi.

Pria di sebelah kiriku, menunduk menatapku dan berkata, “Kau sedang berada dalam masalah. Aku tahu kau barangkali khawatir. Tetaplah menunduk dan pejamkan matamu. Kami tidak bisa melihatnya, namun kau bisa. Jangan buka matamu sampai kami mengeluarkanmu dengan selamat dari sini.”

Kakek mengemudi di depan dan mobil Ayah mengikuti dari belakang. Saat semua siap, konvoi kecil kami mulai bergerak. Kami berjalan dengan cukup lambat… sekitar 20 km/jam atau mungkin kurang. Beberapa saat kemudian, Kei-san berkata, “Di sinilah sulitnya,” dan mulai menggumamkan doa-doa di bawah napasnya.

Itulah saat dimana aku mendengar suara itu.

“Po… Po… Po… Po… Po… Po… Po…”

Aku mencengkeram perkamen yang diberikan Kei-san dengan erat di tanganku. Aku menundukkan kepalaku, namun mengintip ke luar. Aku melihat kain putih berkibar ditiup angin sepoi-sepoi, Kain itu berjalan bersama dengan van ini. Itu Hachishakusama. Ia berada di luar jendela, dan ia mensejajarkan langkahnya dengan kami.

Kemudian, secara mendadak ia membungkuk dan menatap tajam ke dalam van.

“Tidak!” aku terkesiap.

Pria di sebelahku berseru, “PEJAMKAN MATAMU!”

Aku segera menutup mataku sekuat yang aku bisa dan mengetatkan cengkeramanku pada perkamen. Ketukan mulai terdengar.

Tap, tap, tap, tap, tap…

Suara itu mengeras.

“Po… Po… Po… Po… Po… Po… Po…”

Semua jendela di sekitar kami diketuk. Semua pria di van itu terkejut dan gelisah, bergumam gugup pada diri mereka masing-masing. Mereka tidak bisa melihat Si Tinggi Delapan Kaki dan mereka tidak bisa mendengar suara wanita itu, namun mereka bisa mendengarnya mengetuk jendela. Kei-san mulai berdoa dengan keras dan kian mengeras sampai-sampai ia hampir berteriak. Tekanan di dalam van benar-benar tidak tertahankan.

Beberapa saat kemudian suara mengetuk dan suara wanita itu lenyap.

Kei-san menoleh ke arah kami dan berkata, “Kupikir kita aman sekarang.”

Seluruh pria di sekitarku menghembuskan napas lega. Van itu menepi ke pinggir jalan dan pria-pria itu keluar. Mereka mengantarku ke mobil Ayah. Ibu memelukku erat dan air mata menetes di pipinya.

Ayah dan Kakek membungkuk pada pria-pria tersebut dan mereka pun pergi. Kei-san menengok padaku lewat jendela dan memintaku memperlihatkan perkamen yang ia berikan. Saat aku membuka tanganku, aku mendapati perkamen itu menjadi hitam seluruhnya.

“Kurasa kau akan baik-baik saja sekarang,” katanya, “Namun untuk amannya, pegang ini untuk sementara waktu.” Ia memberiku perkamen baru.

Selepas itu, kami langsung menuju ke bandara dan Kakek melihat kami naik pesawat dengan aman. Ketika pesawat kami lepas landas, orang tuaku bernapas lega. Ayah memberitahuku ia pernah mendengar tentang “Si Tinggi Delapan Kaki” sebelumnya. Beberapa tahun lalu, temannya juga disukai oleh wanita itu. Anak itu hilang dan tak pernah terlihat lagi.

Ayah bilang ada orang-orang lain yang disukai juga dan hidup untuk menceritakan kisahnya itu. Mereka semua harus meninggalkan Jepang dan berumah tangga di luar negeri. Mereka tidak pernah bisa kembali ke kampung halaman mereka.

Wanita itu selalu memilih anak-anak sebagai korbannya. Mereka bilang itu karena anak-anak bergantung pada orang tua dan anggota keluarga mereka. Ini membuat mereka lebih mudah ditipu saat ia menyamar sebagai keluarga mereka.

Ayah berkata lagi pria-pria di dalam van semuanya memiliki hubungan darah denganku, dan itulah mengapa mereka duduk di sekelilingku dan mengapa Ayah serta Kakek mengemudi di depan dan di belakang. Semua itu dilakukan untuk membingungkan Hachishakusama. Perlu waktu untuk mengontak setiap orang dan mengumpulkan mereka, itulah mengapa aku harus ditahan di kamar semalaman.

Ayah bilang bahwa salah satu Jizo kecil (sesuatu yang digunakan untuk mengurung Hachishakusama) rusak dan itulah mengapa ia bebas.

Hal itu membuatku merinding. Aku senang akhirnya aku kembali ke rumah.

Semua ini terjadi lebih dari 10 tahun yang lalu. Aku belum pernah melihat Kakek dan Nenek lagi sejak saat itu. Aku belum bisa menginjakkan kaki di negara itu. Lalu, aku akan menelpon mereka setiap beberapa minggu dan berbicara pada mereka lewat telepon.

Selama bertahun-tahun, aku mencoba meyakinkan diriku bahwa semua itu hanya legenda urban, bahwa segala yang terjadi adalah hanya semacam lelucon yang sempurna. Namun terkadang, aku tidak yakin.

Kakek meninggal dua tahun lalu. Saat ia sakit, ia tak mengijinkanku mengunjunginya dan ia meninggalkan perintah ketat di wasiatnya bahwa aku tidak boleh datang ke hari pemakamannya. Semua itu sangat menyedihkan.

Nenek menelponku beberapa hari yang lalu. Ia bilang ia terdiagnosa mengidap kanker. Ia sangat merindukanku dan ingin bertemu denganku untuk terakhir kalinya sebelum ia meninggal.

“Kau yakin, Nek?” tanyaku. “Apakah aman?”

“Ini sudah 10 tahun,” katanya. “Itu semua terjadi sudah lama sekali. Sudah terlupakan. Kau sudah tumbuh besar sekarang. Aku yakin tidak akan masalah.”

“Tapi… tapi… bagaimana dengan Hachishakusama?” tanyaku lagi.

Selama beberapa saat, terdengar kesunyian di seberang telepon. Kemudian, aku mendengar suara maskulin yang dalam menjawab:

“Po… Po… Po… Po… Po… Po… Po…”


Source: http://www.scaryforkids.com/eight-feet-tall/
Translate : Ambrosia Perish

2 comments:

  1. Endingnya yg paling bikin merinding

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nulis dan postingnya juga bikin parno. Ada bunyi dikit, panik noleh. :'v *curcol*

      Delete