Si
Tinggi Delapan Kaki atau “Hachisakusama” adalah legenda urban Jepang tentang
seorang wanita berbadan tinggi yang suka menculik anak-anak. Tingginya 8 kaki,
mengenakan terusan putih panjang dan bersuara “Po… Po… Po… Po… Po…”
Kakek
dan nenekku tinggal di Jepang. Setiap liburan musim panas, orang tuaku akan
membawaku ke sana mengunjungi mereka. Mereka tinggal di sebuah desa kecil dan
mereka memiliki halaman belakang yang luas. Aku suka bermain di sana saat musim
panas. Saat kami tiba, kakek dan nenekku selalu menerimaku dengan tangan
terbuka. Aku adalah satu-satunya cucu mereka, jadi mereka memanjakanku.
Seperti
biasa, orang tuaku memesan tiket penerbangan ke Jepang dan kami berkendara dari
bandara menuju rumah kakek-nenek. Mereka gembira melihatku dan punya banyak
hadiah kecil untuk diberikan kepadaku. Orang tuaku ingin berduaan selama
beberapa waktu, maka setelah beberapa hari, mereka pergi ke daerah lain di
Jepang, meninggalkanku di bawah pengawasan Kakek dan Nenekku.
Suatu
hari, aku sedang bermain di halaman belakang. Kakek dan nenek sedang berada di
dalam. Hari itu lumayan panas dan aku berbaring di atas rumput untuk
beristirahat. Aku memandang awan dan menikmati sensasi dari sinar matahari dan
angin sepoi-sepoi yang lembut. Sebentar setelah aku hampir terbangun, aku
mendengar suara aneh.
“Po…
Po… Po… Po… Po…Po… Po…”
Aku
tidak tau apa itu dan sangat sulit mengetahui darimana suara itu berasal.
Kedengarannya hampir seperti seseorang yang sedang berbicara… seolah ia hanya
mengatakan, “Po… Po… Po…” terus-menerus dengan suara yang dalam dan maskulin.
Aku
melihat ke sekeliling, mencari sumber suara tersebut ketika tiba-tiba aku
menemukan sesuatu di atas pembatas tinggi yang memagari halaman belakang. Benda
itu adalah sebuah topi jerami. Topi tersebut tidak berada tepat di atas
pembatas, namun di belakang pembatas. Dari sanalah suara itu berasal.
“Po…
Po… Po… Po… Po…Po… Po…”
Kemudian,
topi itu mula bergerak, seolah seseorang mengenakannya. Topi itu berhenti di
belakang celah kecil pembatas dan aku dapat melihat seraut wajah mengintip.
Seorang wanita. Namun, pembatas itu tinggi… sekitar 8 kaki…
Aku
terkejut menyadari betapa tinggi wanita itu. Aku bertanya-tanya apakah ia menggunakan
egrang atau semacam sepatu hak super tinggi. Lalu, beberapa detik kemudian, ia
berjalan pergi dan suara aneh tadi menghilang bersamanya, memudar di kejauhan,
Kebingungan,
aku bangkit dan berlari ke dalam rumah. Kakek dan nenek sedang berada di dapur
minum teh. Aku duduk di atas meja, dan sebentar kemudian, aku memberitahu
mereka apa yang aku lihat. Mereka tidak benar-benar memperhatikanku, hingga aku
menyebutkan suara khas itu.
“Po…
Po… Po… Po… Po… Po… Po…”
Segera
setelah aku mengatakan itu, keduanya langsung mematung. Mata nenek melebar dan
ia menutup mulutnya dengan tangannya. Wajah kakek menjadi sangat serius dan ia
mencengkeram tanganku.
“Ini
sangat penting,” katanya dengan nada yang tajam. “Kau harus benar-benar
memberitahu kami… Berapa tinggi wanita itu?”
“Setinggi
pembatas kebun,” balasku, mulai merasa takut.
Kakek
memborbardirku dengan banyak pertanyaan… “Dimana ia berdiri? Kapan ini terjadi?
Apa yang kau lakukan? Apa ia melihatmu?”
Aku
mencoba menjawab semua pertanyaan kakek sebaik yang kubisa. Ia bergegas ke
lorong dan menelpon seseorang. Aku tak bisa mendengar apa yang ia bilang. Aku
menatap Nenek dan ia gemetar.
Dengan
tergesa-gesa kakek kembali ke kamar dan berbicara dengan nenek.
“Aku
harus pergi sebentar,” katanya. “Kau tinggal di sini dengannya. Jangan alihkan
pandanganmu darinya sedetikpun.”
“Ada
apa, Kek?” aku menangis.
Kakek
menatapku dengan ekspresi sedih dan berkata, “Kau sudah disukai oleh
Hachishakusama.”
Kemudian,
ia berlari, melompat ke truknya dan berkendara pergi.
Aku
menoleh ke nenek dan dengan hati-hati bertanya, “Siapa Hachishakusama?”
“Jangan
khawatir,” balas Nenek dengan suara bergetar. “Kakek akan melakukan sesuatu.
Kau tidak perlu khawatir.”
Sementara
kita duduk dengan gugup di dapur menunggu Kakek pulang, Nenek menjelaskan apa
yang sedang terjadi. Ia memberitahuku ada sesuatu yang berbahaya yang
menghantui daerah itu. Mereka memanggilnya “Hachishakusama” yang berarti “Si
Tinggi Delapan Kaki”.
Wujudnya
seperti seorang wanita yang tinggi dan bersuara “Po… Po… Po…” dengan suara pria
yang dalam. Wujudnya sedikit berbeda tergantung siapa yang melihatnya. Ada yang
mengatakan ia terlihat seperti seorang wanita tua kurus kering berkimono dan
ada juga yang bilang gadis berkain kafan putih. Satu hal yang tidak pernah
berubah adalah tingginya dan suara yang dibuatnya.
Dulu,
wanita itu ditangkap oleh para biksu dan mereka berhasil menyegelnya di
reruntuhan bangunan di pinggir desa. Mereka mengurung wanita itu dengan 4
patung suci kecil bernama “Jizo” yang mereka letakkan di utara, selatan, timur,
dan barat reruntuhan dan seharusnya ia tak bisa pergi dari sana. Entah
bagaimana ia mampu melarikan diri.
Terakhir
kali ia muncul adalah saat 15 tahun lalu. Nenek bilang siapapun yang melihat Si
Tinggi Delapan Kaki ditakdirkan mati dalam beberapa hari.
Semuanya
terdengar benar-benar sinting, aku tidak yakin apa yang harus kupercayai.
Saat
Kakek kembali, ada seorang wanita tua bersamanya. Ia memperkenalkan dirinya
sebagai “Kei-san” dan memberiku selembar perkamen lecek sambil berkata, “Ini,
ambil ini dan peganglah.” Lalu, ia dan Kakek naik ke lantai atas untuk melakukan
sesuatu. Aku ditinggalkan lagi di dapur bersama Nenek.
Aku
perlu pergi ke kamar kecil. Nenek mengikutiku ke kamar mandi dan tidak
membiarkanku menutup pintu. Aku mulai benar-benar ketakutan karena ini semua.
Beberapa
saat kemudian, Kakek dan Kei-san memanggilku ke atas dan membawaku ke kamar
tidurku. Jendelanya tertutup kertas koran dan banyak rune-rune kuno tertulis di
sana. Ada semangkuk kecil garam di empat sudut kamar dan sebuah patung Buddha
kecil ditaruh di tengah ruangan di atas kotak kayu. Ada juga ember biru terang.
“Embernya
buat apa?” aku bertanya.
“Untukmu
buang air,” balas Kakek.
Kei-san
mendudukkanku di atas tempat tidur dan berkata, “Segera, matahari akan
tenggelam, jadi dengar baik-baik. Kau harus tinggal di kamar ini sampai besok
pagi. Kau tidak boleh keluar apapun yang terjadi sampai jam 7 pagi besok pagi.
Nenek dan Kakekmu tidak akan berbicara ataupun memanggilmu sampai jam 7. Ingat,
jangan meninggalkan ruangan demi alasan apapun sampai jam 7. Aku akan
memberitahu orang tuamu apa yang terjadi.”
Ia
berbicara dengan nada yang gawat sampai-sampai yang bisa kulakukan hanya
menganggukkan kepalaku.
“Kau
harus benar-benar mematuhi arahan dari Kei-san,” Kakek memberitahuku. “Dan
jangan pernah melepaskan perkamen yang ia berikan padamu. Dan jika sesuatu
terjadi, berdoalah pada Buddha. Dan pastikan kau mengunci pintu ini saat kami
pergi.”
Mereka
berjalan pergi ke dalam koridor dan setelah mengucapkan selamat tinggal pada
mereka, aku menutup pintu kamar dan menguncinya. Aku menghidupkan TV dan
mencoba untuk menonton, namun aku saat gugup, perutku terasa mual. Nenek
meninggalkan beberapa makanan ringan dan nasi kepal untukku, namun aku tidak
bisa memakannya. Aku merasa seperti berada di penjara dan aku merasa sangat
depresi dan ketakutan. Aku berbaring di tempat tidur dan menunggu. Tanpa aku
sadari, aku tertidur.
Saat
aku bangun, jam baru saja menunjukkan pukul satu malam. Tiba-tiba saja, aku
menyadari sesuatu mengetuk jendela.
“Tap,
tap, tap, tap, tap…”
Aku
merasa darahku terlucuti dari wajahku dan jantungku berhenti berdetak. Dengan
susah payah aku berusaha menenangkan diriku, menngatakan pada diri sendiri itu
hanya angin yang jahil atau mungkin cabang pohon. Aku mengeraskan volume TV
untuk meredam suara mengetuk itu. Akhirnya, suara itu berhenti.
Itu
saat aku mendengar Kakek memanggil.
“Kau
baik-baik saja di sana?” tanyanya. “Jika kau takut kau tidak harus berada di
sana sendirian. Aku bisa datang dan menemanimu.”
Aku
tersenyum dan bergegas bermaksud membuka pintu, namun kemudian, aku
menghentikan langkahku. Seluruh tubuhmu merinding. Kedengarannya seperti suara
Kakek, tapi entah bagaimana, berbeda. Aku tidak bisa menjelaskan apa yang
berbeda, aku hanya sekedar tau…
“Kau
sedang apa?” tanya Kakek. “Kau boleh membuka pintunya sekarang.”
Aku
melirik ke kiri dan rasa dingin menjalari tulang belakangku. Garam di
mangkuk-mangkuk itu menghitam perlahan.
Aku
membelakangi pintu. Sekujur tubuhku menggigil ketakutan. Aku berlutut di depan
patung Buddha dan mencengkeram lembaran perkamen kuat-kuat di tanganku. Aku
mulai berdoa memohon pertolongan.
“Kumohon
selamatkan aku dari Hachishakusama,” aku meratap.
Lalu,
kudengar suara di luar berkata:
“Po…
Po… Po… Po… Po… Po… Po…”
Ketukan
di jendela mulai terdengar lagi. Aku dikuasai oleh rasa takut dan aku meringkuk
di sana di depan Buddha, setengah menangis dan setengah berdoa di sisa malamku.
Aku merasa hal ini tidak akan selesai, namun akhirnya pagi datang. Garam di
keempat mangkuk menjadi sangat hitam.
Aku
memeriksa jam tanganku. Pukul 7:30 pagi. Dengan hati-hati aku membuka pintu.
Nenek dan Kei-san berdiri di luar menungguku. Saat Nenek melihat wajahku,
tangisnya pecah.
“Aku
sangat bahagia kau masih hidup,” kata Nenek.
Aku
menuruni tangga dan terkejut melihat Ayah dan Ibu duduk di dapur. Kakek datang
dan berkata, “Bergegaslah! Kita harus pergi.”
Kami
pergi ke pintu depan dan ada sebuah van hitam besar menunggu di jalan. Beberapa
pria dari desa ini berdiri di sekitarnya, menunjukku dan berbisik, “Itu dia.”
Van
itu berisi 9 tempat duduk dan mereka meletakkanku di tengah, dikelilingi oleh
delapan pria. Kei-san berada di kursi kemudi.
Pria
di sebelah kiriku, menunduk menatapku dan berkata, “Kau sedang berada dalam
masalah. Aku tahu kau barangkali khawatir. Tetaplah menunduk dan pejamkan
matamu. Kami tidak bisa melihatnya, namun kau bisa. Jangan buka matamu sampai
kami mengeluarkanmu dengan selamat dari sini.”
Kakek
mengemudi di depan dan mobil Ayah mengikuti dari belakang. Saat semua siap,
konvoi kecil kami mulai bergerak. Kami berjalan dengan cukup lambat… sekitar 20
km/jam atau mungkin kurang. Beberapa saat kemudian, Kei-san berkata, “Di
sinilah sulitnya,” dan mulai menggumamkan doa-doa di bawah napasnya.
Itulah
saat dimana aku mendengar suara itu.
“Po…
Po… Po… Po… Po… Po… Po…”
Aku
mencengkeram perkamen yang diberikan Kei-san dengan erat di tanganku. Aku
menundukkan kepalaku, namun mengintip ke luar. Aku melihat kain putih berkibar
ditiup angin sepoi-sepoi, Kain itu berjalan bersama dengan van ini. Itu
Hachishakusama. Ia berada di luar jendela, dan ia mensejajarkan langkahnya
dengan kami.
Kemudian,
secara mendadak ia membungkuk dan menatap tajam ke dalam van.
“Tidak!”
aku terkesiap.
Pria
di sebelahku berseru, “PEJAMKAN MATAMU!”
Aku
segera menutup mataku sekuat yang aku bisa dan mengetatkan cengkeramanku pada
perkamen. Ketukan mulai terdengar.
Tap,
tap, tap, tap, tap…
Suara
itu mengeras.
“Po…
Po… Po… Po… Po… Po… Po…”
Semua
jendela di sekitar kami diketuk. Semua pria di van itu terkejut dan gelisah,
bergumam gugup pada diri mereka masing-masing. Mereka tidak bisa melihat Si
Tinggi Delapan Kaki dan mereka tidak bisa mendengar suara wanita itu, namun
mereka bisa mendengarnya mengetuk jendela. Kei-san mulai berdoa dengan keras
dan kian mengeras sampai-sampai ia hampir berteriak. Tekanan di dalam van
benar-benar tidak tertahankan.
Beberapa
saat kemudian suara mengetuk dan suara wanita itu lenyap.
Kei-san
menoleh ke arah kami dan berkata, “Kupikir kita aman sekarang.”
Seluruh
pria di sekitarku menghembuskan napas lega. Van itu menepi ke pinggir jalan dan
pria-pria itu keluar. Mereka mengantarku ke mobil Ayah. Ibu memelukku erat dan
air mata menetes di pipinya.
Ayah
dan Kakek membungkuk pada pria-pria tersebut dan mereka pun pergi. Kei-san
menengok padaku lewat jendela dan memintaku memperlihatkan perkamen yang ia
berikan. Saat aku membuka tanganku, aku mendapati perkamen itu menjadi hitam
seluruhnya.
“Kurasa
kau akan baik-baik saja sekarang,” katanya, “Namun untuk amannya, pegang ini
untuk sementara waktu.” Ia memberiku perkamen baru.
Selepas
itu, kami langsung menuju ke bandara dan Kakek melihat kami naik pesawat dengan
aman. Ketika pesawat kami lepas landas, orang tuaku bernapas lega. Ayah
memberitahuku ia pernah mendengar tentang “Si Tinggi Delapan Kaki” sebelumnya.
Beberapa tahun lalu, temannya juga disukai oleh wanita itu. Anak itu hilang dan
tak pernah terlihat lagi.
Ayah
bilang ada orang-orang lain yang disukai juga dan hidup untuk menceritakan
kisahnya itu. Mereka semua harus meninggalkan Jepang dan berumah tangga di luar
negeri. Mereka tidak pernah bisa kembali ke kampung halaman mereka.
Wanita
itu selalu memilih anak-anak sebagai korbannya. Mereka bilang itu karena
anak-anak bergantung pada orang tua dan anggota keluarga mereka. Ini membuat
mereka lebih mudah ditipu saat ia menyamar sebagai keluarga mereka.
Ayah
berkata lagi pria-pria di dalam van semuanya memiliki hubungan darah denganku,
dan itulah mengapa mereka duduk di sekelilingku dan mengapa Ayah serta Kakek
mengemudi di depan dan di belakang. Semua itu dilakukan untuk membingungkan
Hachishakusama. Perlu waktu untuk mengontak setiap orang dan mengumpulkan
mereka, itulah mengapa aku harus ditahan di kamar semalaman.
Ayah
bilang bahwa salah satu Jizo kecil (sesuatu yang digunakan untuk mengurung
Hachishakusama) rusak dan itulah mengapa ia bebas.
Hal
itu membuatku merinding. Aku senang akhirnya aku kembali ke rumah.
Semua
ini terjadi lebih dari 10 tahun yang lalu. Aku belum pernah melihat Kakek dan
Nenek lagi sejak saat itu. Aku belum bisa menginjakkan kaki di negara itu.
Lalu, aku akan menelpon mereka setiap beberapa minggu dan berbicara pada mereka
lewat telepon.
Selama
bertahun-tahun, aku mencoba meyakinkan diriku bahwa semua itu hanya legenda
urban, bahwa segala yang terjadi adalah hanya semacam lelucon yang sempurna.
Namun terkadang, aku tidak yakin.
Kakek
meninggal dua tahun lalu. Saat ia sakit, ia tak mengijinkanku mengunjunginya
dan ia meninggalkan perintah ketat di wasiatnya bahwa aku tidak boleh datang ke
hari pemakamannya. Semua itu sangat menyedihkan.
Nenek
menelponku beberapa hari yang lalu. Ia bilang ia terdiagnosa mengidap kanker.
Ia sangat merindukanku dan ingin bertemu denganku untuk terakhir kalinya
sebelum ia meninggal.
“Kau
yakin, Nek?” tanyaku. “Apakah aman?”
“Ini
sudah 10 tahun,” katanya. “Itu semua terjadi sudah lama sekali. Sudah
terlupakan. Kau sudah tumbuh besar sekarang. Aku yakin tidak akan masalah.”
“Tapi…
tapi… bagaimana dengan Hachishakusama?” tanyaku lagi.
Selama
beberapa saat, terdengar kesunyian di seberang telepon. Kemudian, aku mendengar
suara maskulin yang dalam menjawab:
“Po…
Po… Po… Po… Po… Po… Po…”
Source: http://www.scaryforkids.com/eight-feet-tall/
Translate : Ambrosia Perish
Endingnya yg paling bikin merinding
ReplyDeleteNulis dan postingnya juga bikin parno. Ada bunyi dikit, panik noleh. :'v *curcol*
Delete