Thursday, February 9, 2017

THE HOLDERS SERIES : 45. HOLDER OF PEACE



Di kota manapun, di negara manapun, pergilah ke institusi mental atau rumah persinggahan yang bisa kau datangi. Menghamburlah ke meja depan dengan tatapan marah di wajahmu, dan mintalah untuk menemui seseorang yang memanggil dirinya “Sang Pemegang Kedamaian” sesegera mungkin. Si pegawai akan melompat takut, dan memintamu untuk bebicara lebih pelan. Jangan memenuhi permintaannya- jika ada; berbicaralah lebih keras- karena kemarahan dalam suaramu adalah satu-satunya hal yang menjaga rantai di pintu di belakang meja tetap terkunci.

Pertahankan kemarahan dalam suaramu- ia akan membungkuk ke bawah meja dan dengan jari gemetar menunjuk ke arah sebuah lorong di sebelah kanan yang tadinya tidak ada di sana. Segera berbalik dan melangkah dengan marah menuju lorong. Jangan
melihat ke balik bahumu, karena jika si pegawai memergokimu- dan jelas akan memergokimu- ia akan dengan santainya bersandar pada pintu di belakangnya dan membiarkannya terbuka.

Berjalanlah sampai kau menemukan sebuah pintu dengan desain tatahan induk mutiara. Bantinglah pintu hingga terbuka, namun tanggalkan kemarahan dari wajahmu segera- orang di dalam sini tidak menghargai kemarahan.

Dengan wajah penuh kedamaian, masuklah. Kau ada di sebuah kuil berudara terbuka yang indah, dengan tanaman rambat melingkari pilar-pilar marmer dan mozaik-mozaik indah yang menghiasi dinding. Pintu akan tertutup di belakangmu. Jangan mencoba membukanya, karena pintu itu tak akan pernah terbuka, dan biksu-biksu berjubah coklat yang kau lihat lalu-lalang akan melakukan apa pun agar kau tetap di sana- bahkan jika kau harus mati.

Berkelilinglah. Tidak peduli bahasa yang apapun yang kau gunakan, para biksu itu menggunakannya juga. Mereka ramah, dan semuanya akan dengan senang hati bercakap-cakap, namun tolaklah dengan sopan. Beritahu mereka bahwa kau harus berbicara dengan kepala biksu.

Akhirnya kau akan diarahkan ke seorang pria yang berdiri di papan catur – pemimpin kuil itu. Sosok di seberangnya bertudung dan mengenakan baju besi. Jangan tergoda untuk bicara pada sosok bertudung itu, atau kematianmu akan jauh lebih buruk dari pemandangan neraka yang bisa ditunjukkan oleh pria itu. Daripada itu, menolehlah pada pria berjubah coklat yang sekarang terlihat familiar. Permainannya tinggal satu langkah lagi menuju skakmat.

Membungkuk, dan bertanyalah dengan ramah, “Mengapa mereka berkumpul, Bapa?”

Ia akan membuka mulutnya seolah hendak berbicara. Namun sosok di seberangnya akan meraung marah dengan jahat dan menghunuskan pedang. Pedang itu ditempa dengan indah, namun sepertinya entah bagaimana ternodai oleh kekejian yang tidak terpikirkan. Dengan sebuah seruan, sosok itu akan menendangmu dan mulai membantai biksu-biksu lain secara berurutan. Mereka mencoba melawan balik, namun mereka hanya punya tongkat, dan pedang yang digunakan sosok sinting itu sangat tajam bahkan pedang itu menyayat pilar-pilarnya seperti pisau mengiris mentega.

Saat kau menonton hal ini, kepala biksu akan mengambil langkah terakhir dalam permainannya. Pria berbaju besi tadi akan berayun, dan lari ke arahmu dengan pedang terhunus.

Jika kau tidak sopan atau melakukan suatu kesalahan, kau akan dicincang sampai ke bagian terkecil oleh bilah pedang itu, dan rasa sakitnya tak akan pernah berhenti. Tapi, jika kau sopan, kepala biksu akan melangkah ke depanmu dan menjejalkan bidak raja hitam ke dalam mata kanan si serdadu.

Jangan mengindahkan atau bersimpati saat ia roboh ke tanah, menjerit, atau kepala biksu akan berputar dan melakukan hal yang sama padamu dengan bidak raja putihnya. Daripada itu, fokuslah pada si kepala biksu, yang sekarang menoleh untuk berhadapan denganmu.

Ia akan memberitahumu kenapa mereka berkumpul. Sebuah cerita yang panjang, penuh dengan pertumpahan darah dan kengerian yang mungkin akan menampar batinmu. Namun jika kau selamat dari ceritanya, ia akan merogoh ke bawah meja dengan papan catur tadi dan memberikanmu sarung kaya akan permata dan bertahtakan emas. Meski kau belum pernah melihat sebelumnya, kau secara naluriah akan tahu bahwa sarung itu cocok dengan pedang yang digunakan serdadu tadi beberapa saat lalu. Jangan ragu- ambillah, berjalanlah lagi, ambil pedang si pria sinting, bersihkan, dan sarungkan. Ikatlah dengan baik- kau akan memerlukannya.

Berjalanlah pergi, namun sebelum melakukannya, Bapa tadi akan menghentikanmu dan menunjuk ke arah wajah serdadu yang kini tak bertudung. Ia tampan, namun jangan mengindahkan hal itu. Satu hal yang harus kau fokuskan adalah fakta bahwa bidak raja hitam itu hilang. Menolehlah pada kepala biksu, yang akan mengangguk dan mengucapkan satu kata: “Pembunuh raja”.

Sebuah kilasan cahaya akan membutakanmu, dan saat penglihatanmu kembali kau akan berdiri di tepi jalan dua blok dari rumah sakit jiwa. Melangkahlah ke pinggir- kau tidak ingin mengalami kecelakaan.

Pedang yang sekarang kau gunakan yang dulunya adalah milik bidak raja putih, adalah objek nomor 45 dari 538. Bidak Raja Hitam lari dari tempat pembunuhannya, dan Bidak Raja Putih merindukan balas dendam.


Source : http://theholders.org/?Holder_of_Peace 
Translate : Ambrosia Perish


2 comments: