Di
kota manapun, di negara manapun, pergilah ke institusi mental atau rumah
persinggahan yang bisa kau datangi. Lihatlah ke langit-langit dengan ekspresi
bosan saat kau berjalan ke meja depan, dan dengan suara yang terdengar dingin
dan acuh tak acuh mintalah untuk bertemu si “Pemegang Perang”. Kau akan
mendapat sebuah tepukan pelan di bajumu; sekarang sudah aman untuk menurunkan
pandangan. Si pegawai akan tersenyum sopan dan mulai berjalan, memberi pidato
yang hampir terdengar mekanis saat ia menjelaskan sejarah rumah sakit jiwa itu.
Jangan merespon pidatonya- isinya benar-benar pidato berdarah dan juga penuh
dengan deskripsi grafis, namun bereaksi di titik ini berarti sebuah
pengembaraan menuju neraka.
Setelah
berjalan beberapa saat, kau akan tiba di sebuah pintu berukiran rumit
dari mahogani dan emas. Berhentilah di depan pintu itu. Tahan ekspresi bosan di wajahmu, boleh juga menambahkan seringai kosong, tapi jangan bereaksi saat si pegawai meraih bagian belakang kaosmu, atau ia akan mengubah cengkramannya dan kau akan berakhir tanpa kepala.
dari mahogani dan emas. Berhentilah di depan pintu itu. Tahan ekspresi bosan di wajahmu, boleh juga menambahkan seringai kosong, tapi jangan bereaksi saat si pegawai meraih bagian belakang kaosmu, atau ia akan mengubah cengkramannya dan kau akan berakhir tanpa kepala.
Si
pegawai akan melemparmu melalui pintu, dan kau akan mendengar pintunya
terbanting tertutup di belakangmu. Kau berada di sebuah tempat yang mungkin
dulunya adalah sebuah tanah pertanian subur namun kini tanah itu adalah medan
perang jahanam yang porak-poranda. Tentara-tentara berseragam dalam dua warna-
satunya berwarna putih terang mengerikan, yang entah bagaimana ternodai, dan
yang lainnya berwarna hitam kotor dan memuakkan- bertempur dengan cara tragis
yang mungkin, bertarung dengan senapan, meriam, pedang, busur, segala senjata
perang yang telah ada sejak waktu bermula.
Jangan
lari dari medan perang ini, atau tentara-tentara itu akan melihatmu, menghentikan
perselisihan mereka, dan menoleh padamu dengan rasa lapar akan benci, karena
kau adalah apa yang mereka rebutkan, dan dalam batin mereka yang sangat gelisah
dan gila akan pertempuran, kau adalah penyebab semua pertumpahan darah mereka.
Juga,
jangan mencoba dan kembali ke pintu. Pintu itu sudah rata akan lumpur,
terdorong oleh teriakan prajurit infanteri yang menghunus sebuah senapan
berpisau sangkur. Jika kau membiarkannya mendapatkanmu, ia akan
mencabik-cabikmu dalam beberapa detik, namun entah bagaimana ia tidak bermaksud
membunuhmu. Rasa sakit dari pengalaman itu tidak diragukan lagi akan membuat
apa yang tersisa di pikiranmu gila.
Sebaliknya,
tanggalkan ekspresi bosanmu dan pasang wajah kejam dan bertekadmu. Berjalanlah
dengan langkah ala militer yang berirama lurus ke depan sampai kau melihat struktur
beton runtuh setinggi tiga lantai yang dulunya mungkin adalah sebuah bunker
komando. Jangan menoleh saat melakukannya; kendaraan lapis baja itu telah tiba
di medan perang, dan jika kau berhenti, atau mengubah langkahmu, tank-tank
tersebut akan menghabisimu.
Saat
kau berhasil memasuki bunker, jangan memberikan perhatian pada orang yang
meminta tolong padamu atau mencoba berbicara padamu, tidak peduli seberapa
putus asa mereka telihat. Masing-masing dari mereka berpikir kau adalah musuh,
dan saat kau merespon, kau akan dihadiahi sebuah pisau di wajahmu. Daripada
itu, berjalanlah lurus ke arah tangga di depanmu, menuju lantai dua bunker.
Saat kau menaiki tangga, sebuah dentaman akan terdengar di belakangmu-
penyegelan pintu api bersamaan dengan serangan detasemen penyembur api.
Di
lantai dua, hanya ada satu orang pria, duduk di atas meja, berseru pada sebuah
ponsel. Tangga menuju lantai tiga adalah sekumpulan beton berbelit. Pria di
meja itu mengenakan bintang jendral, namun tampaknyaia seperti tidak
memperhatikan kalau ponsel itu, sama seperti orang-orang di lantai tersebut,
mati.
Berjalanlah
ke arahnya, beri hormat, dan dalam suara militermu yang terbaik, berserulah “SIR!”
Ia akan menoleh cepat untuk memandangmu. Jika ia berpikir kau tidak pantas
untuk pasukannya, ia akan membongkarmu perlahan dengan tangannya, dan kau akan
bergabung dengannya dalam kematiannya yang semakin mendekat. Bila ia berpikir
kau pantas, ia akan mengangguk dan menatapmu dengan tajam. Ia tidak menyukai
pemalas, maka cepatlah bertanya padanya pertanyaanmu.
Satu-satunya
pertanyaan yang akan ia respon adalah: “Kemana aku pergi, Sir?”
Ia
akan memberitahumu. Ia akan memberitahumu dengan detail, detail yang
mengerikan, bahwa kau akan tergoda untuk mencekiknya. Jangan mencoba
melakukannya- ia petarung yang jauh lebih berpengalaman dari yang kau harapkan,
dan jika kau menggoyahkan salam hormatmu, kau akan menemui kematian yang
benar-benar mengenaskan. Saat ia menyelesaikan bicaranya, ia akan berkata “tenang”,
dan memberikan padamu pistolnya. Ini merupakan tanda untuk menurunkan hormatmu.
Ambil pistolnya dan letakkan di sarung pistolmu- jika tadi kau tidak punya,
maka sekarang kau memilikinya.
Sebuah
ledakan secara tiba-tiba akan menghancurkan dinding di seberangmu dan melumat
si jenderal. Melalui lubang di dinding kau akan melihat, di atas kaki langit,
sebuah misil yang panjang dan tipis muncul.
Tutup
matamu rapat-rapat dan bukalah tanpa maksud apapun. Suara-suara dari
pertarungan yang mengerikan akan pudar sampai, di luar kesunyian, sebuah
tembakan berbunyi. Bukalah matamu.
Kau
berdiri di tengah ladang gandum yang melambai. Entah bagaimana, kau tahu bahwa
tempat ini adalah tempat dimana pertempuran mengerikan yang kau lalui tadi akan
terjadi. Dan kau juga tahu, entah bagaimana, kau akan ada di posisi sang
jenderal.
Pistol
yang ia berikan padamu adalah objek ke-44 dari 538. Belajarlah menggunakannya-
pistol itu memiliki satu tempat peluru tersisa. Jika kau menembakkan tembakkan
terakhir di waktu yang tepat, kau akan menghindari takdir si jenderal. Jika
tidak, kau akan bergabung dengannya.
Source : http://theholders.org/?Holder_of_War
Translate : Ambrosia Perish
No comments:
Post a Comment